Juli 12, 2009

Adonara Layak Jadi Kabupaten

Tuesday, 17 June 2008 21:57
Membaca berita harian lokal Pos Kupang, yang berjudul “UGM Kaji Pembentukan Kabupaten Adonara” (Pos Kupang, 10 April 2008) mengisyaratkan penulis bahwa Adonara memang pantas dikaji oleh UGM. Dari 114 proposal pemekaran yang diajukan oleh kabupaten induk untuk dimekarkan di Indonesia,

dua terpilih untuk layak dikaji, yakni pemekaran di Kabupaten Puncak Jaya Wijaya, Provinsi Papua, dan Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terseleksinya kedua kabupaten tersebut, bukan karena persoalan kebetulan tetapi memang kedua kabupaten yang akan dimekarkan tersebut layak secara administrasi berdasarkan proposal yang dikirim, kata ketua Tim pengkaji Drs. Cornelis Lay, M.A, ketika melakukan kegiatan pengkajian tahap awal pada tanggal 9 April 2008 di ruangan serba guna Kantor Camat Adonara Timur Flores Timur.

Tim UGM, yang diawaki oleh 5 (lima) pengkaji yakni Dr. Purwosantoso, M.A, Drs. Cornelis Lay, M.A, Dra. Ratnawati, S.U, Wawan Mas’udi, S.IP, MPA dan Nova Dona Bayo, SIP telah menunjukkan keprofesionalan dalam mengkaji Adonara. Kemiskinan, isolasi dan konflik. Sebagai tiga pisau analisis mereka. Pengkajian terhadap aspek kemiskinan dengan melihat beberapa indikator, seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik di 8 kecamatan yang berada di Pulau Adonara maupun Kabupaten Flores Timur secara keselurahan.

Selain indikator kemiskinan berupa PAD dan PDRB, terdapat juga indikator Sumber Daya Alam dan Manusia dan berbagai indikator berdasarkan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder dan tersier masyarakat dan berbagai potensi yang dapat diprediksi untuk dikembangkan dalam membangun Flores Timur ke depan umumnya dan Adonara pada khususnya.

Aspek kajian yang kedua, adalah isolasi, yang dapat dibedakan dalam kerangka konseptual yakni isolasi secara fisik berupa infrastruktur dan isolasi sosial. Aspek kajian ketiga adalah konflik, stigma yang dibangun oleh para peneliti bahwa Adonara adalah The Island Murder, Pulau pembunuh.

Atau secara sederhana adalah pulau penuh konflik (terinspirasi dari Paul Arndt seorang Antropolog etnografi), sebuah pertanyaan mendasar adalah apakah realitas berbicara demikian? Atau apakah refrensi yang dibaca oleh para pengkaji sama dengan realitas saat ini? Kalau memang dikenal pelabelan “banyak konflik, kira-kira konflik apa yang terbanyak, serta bagaimana menyelesaikan konflik tersebut?

Menurut penulis belum maksimalnya pemanfaatan kearifan lokal dalam penyelesaian konflik menyebabkan begitu banyak konflik yang menggantung dalam masyarakat. Penulis yakin dengan sebuah ungkapan filosofi klasik Adonara, “Taan medo di toiro, mela di toiro” ( adanya konflik dan penyelesaian konflik ada dalam diri kita).

Filosofi ini mau menggambarkan kepada orang Adonara bahwa adanya konflik, pasti ada cara penyelesaiannya atau dengan ungkapan sederhana, kembalikan permasalahan konflik kepada kearifan lokal untuk menyelesaikannya.

Pengkajian ini bukan hanya memberikan sebuah judul layak atau tidaknya Adonara menjadi kabupaten, tetapi bagaimana mengapresiasikan kekurangan atau ketidakmampuan pemerintah Kabupaten Flores Timur sebagai pengemban misi pelayanan kepada masyarakat selama ini berdasarkan telaahan akademis.

Penulis yakin bahwa hasil kajian pasti menarik sehingga dapat memberikan sebuah benang merah bagaimana jika Flores Timur dimekarkan? Apa yang harus dikerjakan untuk mempersiapkan pemekaran tersebut? Atau sebaliknya jika tidak dimekarkan, apa yang harus dikerjakan atau dipersiapkan agar pelayanan dapat terjangkau oleh masyarakat Adonara?

Sebuah apresiasi masyarakat Adonara Barat terhadap pengkajian tersebut menghasilkan berita pada sebuah koran lokal Flores Pos dengan judul, “Adonara Barat Tolak Kabupaten Adonara” dan “Otonomi Adonara Butuh 15 Tahun Lagi” (FP, 16/4 dan 17/4, 2008).

Kedua berita tersebut, jika disimak secara cermat lebih menggambarkan kekhawatiran masyarakat Adonara Barat yang tetap tertinggal jika adanya sebuah kabupaten Adonara. Karena itu masyarakat Adonara Barat membutuhkan waktu 15 tahun lagi untuk menggapai kabupaten Adonara.

Dari berita tersebut dapat disimpulkan penulis bahwa masyarakat Adonara Barat memberikan sebuah kritikan yang konstruktif kepada pemerintah Kabupaten Flores Timur atas ketidakpuasan mereka dalam mendapatkan pelayanan selama ini (menjadi bagian dari Kabupaten Flotim).

Selain itu bidikan kritikan juga ditujukan pada para pengurus Forum Persiapan Adonara Kabupaten (F-PARK) agar lebih memaksimalkan perannya (sosialisasi) dalam mempersiapkan Adonara menuju otonom. Harus diakui dengan jiwa besar bahwa sosialisasilah yang belum maksimal (F-PARK) sehingga masyarakat Adonara Barat begitu khawatir dengan trauma Flores Timur dapat terulang kembali.

Di mata penulis, kekhawatiran ini, karena masyarakat Adoanara Barat memandang bahwa kemiskinan dan keterisolasian sebenarnya tidak harus dialami mereka (masyarakat Adonara Barat). Keberadaan lingkungan dan Sumber Daya Alam yang begitu menjanjikan dibaratkan bagaikan tikus yang kelaparan dalam lumbung yang penuh berisi beras. Letaknya di depan hidung kota Larantuka, tetapi dirasakan seperti begitu jauh dari pandangan mata.

Siapa pun pemimpinnya saat ini dimata mereka, jiwa gelakat kepada Lewotana (pengabdian kepada kampong halaman) telah begitu luntur. Akibat nilai histrorical dan culture yang telah diredusir menjadi sebuah pemenuhan kebutuhan hedonism dan ersazt capitalism (kapitalis semu) demi kepentingan politik.

Adonara layak jadi Kabupaten

Menurut tim pengkaji yang diwakili oleh Cornelis Lay, “bahwa kalau untuk sekedar memenuhi syarat-syarat formal sebagaimana yang digariskan dalam aturan kenegaraan yang ada saat ini, Adonara sudah layak menjadi kabupaten” (FP, 17/4, 2008).

Simpulan sederhana dari pernyataan tim pengkaji tersebut adalah Adonara telah layak berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 5 ayat 1 - 5 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, Pasal 2 sampai 17.

Karena itu perlu adanya kemaun baik dari berbagai elemen masyarakat Adonara untuk menyikapinya dengan persiapan dan sambil mencari benang merah tiga pokok permasalahan di atas sehingga permasalahan pembangunan ke depan dapat menitikberatkan pada tiga aspek permasalahan tersebut. Kemiskinan, keterisolasian dan konflik dapat diminimalisir dari realitas kehidupan masyarakat Adonara ke depan.

Lewotana Adonara telah berusaha dengan caranya tersendiri untuk menunjukkan kehebatannya dimata tim pengkaji. Mengapa kita menegasikan dengan intrik-intrik politik dibalik itu? Siapa yang menghalanginya akan menuai apa yang ditaburkannya.

Karena Masyarakat Adonara begitu meyakini kekuatan Lewotanannya. Lewotana Adonara mete nolo kae, nengga tite dore hala? (Adonara telah jalan mendahului kita, mengapa kita tinggal diam) “Koda Sare Naan Tite Dike Sare, Koda Te Pe Ure Dopi Hulen Doan. (bahasa yang baik membuat kita baik, bahasa pemecah harus dihilangkan jauh-jauh). Mari sambut Adonara kabupaten.

Penulis;
Pernah mengajar pada FISIP Unika Widya Mandira Kupang.
Sekarang bekerja pada Bagian Organisasi Setda Kabupaten Lembata
Sekretaris Ikatan Keluarga Adonara (IKA) Lembata

Pemutakhiran Terakhir ( Monday, 23 June 2008 16:15 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar